Soundssation - Oleh Priyantono Oemar.
Dengan bangga, Elisabeth Nogo Keraf memberi tahu telah memenangi lomba kreasi memasak di acara peringatan Kemerdekaan Indonesia di desanya. ‘’Saya memasak puding jagung,’’ ujar Mama Elis, panggilan akrabnya, Senin (15/8) petang.
Jagung menjadi tanaman pangan pokok --selain padi ladang-- yang ditanam warga desa tempat Elis tinggal. Elis tinggal di Dusun Waiwejak, Desa Nubahaeraka, Kecamatan Atadei, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur. Selain dimasak menjadi nasi, jagung juga diproses sebagai makanan cemilan berupa jagung titi (jagung pukul).
‘’Jagung disangrai, kemudian dipukul dengan batu,’’ jelas Elis. Ada rasa asli, ada pula rasa asin atau manis. Untuk mendapatkan rasa asin dan manis prosesnya sedikit berbeda, yaitu dicelup ke air gula atau air garam setelah dipukul dengan batu, kemudian disangrai lagi.
Untuk mencapai desa Elis yang berada di atas bukit ini memerlukan ongkos Rp 30 ribu sekali jalan naik oto dari ibu kota Kabupaten Lembata, yang berjarak sekitar 35 km. Tak ada sinyal telepon seluler di sini. Tak ada pula aliran listrik PLN. ‘’Tahun 2016 ini akan ada PLTD, tapi hingga hari kemerdekaan Agustus ini, belum ada tanda-tandanya,’’ ujar Kepala Desa Nubahaereka, Andreas Baha Luon.
Yang mampu, mereka memanfaatkan generator untuk mendapatkan penerangan, tapi hanya dinyalakan tiga jam hingga pukul 21.00. Maka, minyak tanah masih menjadi andalan, sebelum akhirnya mereka memilih energi alternative tenaga surya dari LSM Kopernik.
‘’Kami terima apa yang telah diputuskan nenek moyang kami, yang memilih tinggal di atas bukit, di atas sumber air,’’ ujar Eduardus Hudi Keraf, warga Nubahaereka, yang tinggal di sisi lapangan bola, tempat dilangsungkannya lomba kreasi memasak.
Karena berada di atas sumber mata air, warga Nubahaeraka harus berjalan sekitar lebih dari tiga kilometer untuk mencapai sumber mata air. Bisa ditempuh selama 30 menit dengan berjalan kaki, tetapi pulangnya bisa mencapai lebih dari satu jam waktu tempuhnya karena membaa beban air dan berjalan mendaki. Yang memiliki kuda bisa memanfaatkan kuda, yang memiliki sepeda motor bisa naik sepeda motor.
Pompa sumbangan turis Inggris yang pernah berkunjung ke Nubahaeraka hanya mampu mengisi bak air induk di kantor desa tiap empat hari. Setelah penuh, barudisalrkan ke bak penampung di dua dusun, empat penampung di Dusun Waiwejak, satu penampung di Dusun Lewokorong. ‘’Warga di Lewokorong masih sedikit, sehingga hanya satu penampung dengan kapasitas 2.200 liter,’’ jelas Kepala Desa Andreas.
Pernah ada pompa proyek dari Pemda senilai Rp 1 Miliar, mengunakan 65 panel surya. Air mengucur deras di desa, sehingga mamak-mamak senang. ‘’Kata mereka, seumur hidup setua ini, baru kali ini lihat air mengucur deras di desa,’’ ujar Eduardus, mengenang.
Kebahagiaan itu hanya berlangsung satu jam lantaran koverter panel suryanya rusak. Tak ada perbaikan hingga kini. ‘’Kami menunggu proyek PNPM tahun ini senilai Rp 5 miliar, untuk mengalirkan air ke tiga desa, termasuk Nubahaereka,’’ ujar Agustinus Eme Manuk, wakil ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Nubahaereka.
Kini, mereka hanya mengandalkan pompa bantuan turis Inggris, dan tentu saja masih harus bersusah payah pergi ke sumber air. Untuk membangun rumah tembok, mereka harus membeli air seharga Rp 400 ribu per tangki 3.000 liter.
‘’Saya habis lebih dari 10 tangki,’’ ujar Agustinus, untuk membangun dua rumahnya.
‘’Satu juta habis untk beli air buat bangun rumah ini,’’ ujar Eduardus.
Sumber : Republika
0 Response to "71 Tahun Menunggu Air dan Listrik"
Post a Comment